Rumatamerek, Lukman Ahmad (2019) Penerapan Presidential Threshold Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019. Sarjana thesis, UNIVERSITAS KHAIRUN.
Text
CAFER.pdf - Published Version Download (39kB) |
|
Text
ABSTRAK.pdf - Published Version Download (91kB) |
|
Text
BAB I.pdf - Published Version Download (249kB) |
|
Text
DAFTAR PUSTAKA.pdf - Published Version Download (111kB) |
Abstract
Amademen Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak empat kali, telah merubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara signifikan. Salah satunya pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara menjadi sederajat dengan lembaga tinggi negara lainnya, yaitu eksekutif dan yudikatif. Kewenangan MPR mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dicabut, sehingga proses pengisian jabatan kepresidenan pasca amademen harus dilakukan melalui Pemilihan Umum (Pemilu) secara lansung oleh rakyat. Hal itu merupakan usaha pemurnian sistem presidensial. Sebab, salah satu karakteristik sistem pemerintahan presidensial ialah adanya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara lansung oleh rakyat dengan masa jabatan tetap (fixed term). Juga sebagai penegasan sekaligus realisasi sistem demokrasi konstitusional yang dianut Indonesia, sebagaimana teramanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yaitu: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Maka dari itu, apapun cara, sistem, penerapan, dan hasil Pemilu harus berlandaskan atau tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Apalagi sampai melanggar hak-hak konstitusional warga negara (constitutional ctizen;s rights) Indonesia yang dilindungi UUD NRI 1945. Tetapi, setelah mengamati berapa kali Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ternyata masih terdapat sejumlah ketentuan yang berpotensi merenggut hak-hak konstitusional warga negara dan cenderung meredupsi semangat purifikasi sistem presidensial Indonesia. Salah satu ketentuan dimaksud dan menjadi fokus pengkajian penilitian ini ialah pemberlakuan ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang sudah diterapkan sejak Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 dan selanjutnya pada Pemilu 2004 dan 2009 melalui Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemiihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Sejak pertama, pemberlakuan presidential threshold telah menuai polemik yang berunjung pada Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam setiap putusannya MK menilai bahwa presidential threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan merupakan open legal policy pembentuk UU. Sehingga ketentuan presidential threshold tetap diberlakukan pada Pemilu serentak 2019 sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Ketentuan tersebut hanya mengakui partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, sebagai satu-satunya instrument yang dapat mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Maka dari itu, penilitian hukum normatif ini mengangkat dua rumusan masalah yaitu: 1) Bagaimana penerapan presidential threshold dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019; dan 2) Bagaimana problematika penerapan presidential threshold dalam Pemilu Presisen dan Wakil Presiden 2019. Kata kunci: Pemilu, Presidential Threshold, dan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara.
Actions (login required)
View Item |